Oleh
Wawan Sujarwo
Direktur Eksekutif
Perhimpunan Masyarakat Etnobiologi Indonesia (PMEI)
Program Global Tree Campaign (GTC) dan Botanic
Garden Conservation International (BGCI) terus mendorong pelestarian
jenis-jenis pohon langka di seluruh dunia, khususnya yang sudah berstatus IUCN vulnerable atau bahkan endangered. Di Indonesia, ada lebih dari
ratusan jenis pohon langka yang statusnya sudah dirilis IUCN (International Union for Conservation of
Nature), beberapa diantaranya adalah Saninten (Castanopsis argentea) dan Tungurut (Castanopsis tungurrut) yang keduanya sudah ditetapkan sebagai jenis
endangered.
(Castanopsis argentea) (Castanopsis tungurrut)
Di Indonesia, Saninten dan Tungurut
banyak tersebar di hutan pegunungan Jawa Barat dan Sumatra. Tingginya kegunaan
kayu di masa lampau menjadikan kedua jenis tersebut diduga menjadi target logging. Saat ini, biji kedua jenis
tumbuhan tersebut banyak diburu masyarakat untuk dijadikan camilan karena
rasanya yang enak dan manis, khususnya biji Saninten.
Saninten dan Tungurut atau biasa disebut
rambutan hutan memiliki bentuk buah yang mirip dengan rambutan namun bulunya
agak kaku dan tajam. Buah Saninten mengandung 3-4 biji, sedangkan Tungurut
hanya 1 biji. Saat musim buah tiba, buah Saninten dan Tungurut banyak
berjatuhan di lantai hutan dengan kondisi yang sudah pecah kulit sehingga
bijinya kelihatan. Bagi masyarakat Jawa Barat, khususnya yang tinggal
berdekatan dengan kawasan hutan yang ada Saninten dan Tungurut, sudah menjadi
kebiasaan untuk mengumpulkan bijinya disaat musim buah tiba.
Pola regenerasi alami yang dirasa lambat
menjadikan kedua jenis tumbuhan tersebut mengalami kemerosotan populasi di
alam, beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab kemerosotan diantaranya:
biji yang diambil masyarakat untuk dijadikan camilan, dan juga dimakan oleh
Babi Hutan dan Owa Jawa. Kondisi ini diperparah dengan dampak perubahan iklim
yang mulai terasa, salah satu penyebab Saninten dan Tungurrut jarang berbuah di
duga kerena intensitas hujan yang cukup tinggi selama lima tahun terakhir yang
menjadikan kedua jenis tersebut gagal berbuah.
Selain itu, faktor kompetisi alam juga
diduga menjadi penyebab anakan Saninten dan Tungurut tidak mampu hidup karena
kalah kompetisi dengan tumbuhan bawah dan semak yang ada di dalam hutan. Ada
pendapat yang mengungkapkan bahwa mengambil anakan Saninten dan Tungurut dari
hutan untuk dikonservasi secara ex-situ dan kemudian kelak direintroduksikan
dapat menjadi salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan, selain upaya
perbanyakan konvensional dengan biji, stek, dan cangkok.
Terlepas dari semua faktor diatas, sudah
menjadi kewajiban bersama untuk menghambat agar status keberadaan Saninten dan
Tungurut tidak terus merosot, minimal bisa stabil dan secara perlahan
populasinya dapat terus ditingkatkan dengan upaya-upaya perbanyakan dan
reintroduksi yang dikembangkan.
Selain itu, upaya penyadartahuan masyarakat
akan pentingnya Saninten dan Tungurut harus terus digalakkan dengan menggunakan
berbagai macam media komunikasi dan pendekatan. Peran aktif masyarakat dan
pemerintah sangat vital dalam menjaga keberlanjutan species tumbuhan di masa
depan sebagai salah satu tinggalan untuk generasi yang akan datang.